Bahan-bahan untuk Gorga ini biasanya kayu lunak yaitu yang mudah dikorek/dipahat. Biasanya nenek-nenek orang Batak memilih kayu ungil atau ada juga orang menyebutnya kayu ingul. Kayu Ungil ini mempunyai sifat tertentu yaitu antara lain tahan terhadap sinar matahari langsung, begitu juga terhadap terpaan air hujan, yang berarti tidak cepat rusak/lapuk akibat kena sengatan terik matahari dan terpaan air hujan. Kayu Ungil ini juga biasa dipakai untuk pembuatan bahan-bahan kapal/ perahu di Danau Toba.
Bahan-bahan Cat (Pewarna)
Pada zaman dahulu Nenek orang Batak Toba menciptakan catnya sendiri secara alamiah misalnya :
Cat Warna Merah diambil dari batu hula, sejenis batu alam yang berwarna merah yang tidak dapat ditemukan disemua daerah. Cara untuk mencarinya pun mempunyai keahlian khusus. Batu inilah ditumbuk menjadi halus seperti tepung dan dicampur dengan sedikit air, lalu dioleskan ke ukiran itu.
Cat Warna Putih diambil dari tanah yang berwarna Putih, tanah yang halus dan lunak dalam bahasa Batak disebut Tano Buro. Tano Buro ini digiling sampai halus serta dicampur dengan sedikit air, sehingga tampak seperti cat tembok pada masa kini.
Cat Warna Hitam diperbuat dari sejenis tumbuh-tumbuhan yang ditumbuk sampai halus serta dicampur dengan abu periuk atau kuali. Abu itu dikikis dari periuk atau belanga dan dimasukkan ke daun-daunan yang ditumbuk tadi, kemudian digongseng terus menerus sampai menghasilkan seperti cat tembok hitam pada zaman sekarang.
Jenis/ Macamnya Gorga Batak
Menurut cara pengerjaannya ada 2 jenis :
1. Gorga Uhir yaitu Gorga yang dipahatkan dengan memakai alat pahat dan setelah siap dipahat baru diwarnai
2. Gorga Dais yaitu Gorga yang dilukiskan dengan cat warna tiga bolit. Gorga dais ini merupakan pelengkap pada rumah adat Batak Toba. Yang terdapat pada bahagian samping rumah, dan dibahagian dalam.
Menurut bentuknya
Dilihat dari ornament dan gambar-gambarnya dapat pula Gorga itu mempunyai nama-namanya tersendiri, antara lain ;
• Gorga Ipon-Ipon, Terdapat dibahagian tepi dari Gorga; ipon-ipon dalam Bahasa Indonesia adalah Gigi. Manusia tanpa gigi sangat kurang menarik, begitulah ukiran Batak, tanpa adanya ipon-ipon sangat kurang keindahan dan keharmonisannya. Ipon-ipon ada beraneka ragam, tergantung dari kemampuan para pengukir untuk menciptakannya. Biasanya Gorga ipon-ipon ini lebarnya antara dua sampai tiga sentimeter dipinggir papan dengan kata lain sebagai hiasan tepi yang cukup menarik.
• Gorga Sitompi, Sitompi berasal dari kata tompi, salah satu perkakas Petani yang disangkutkan dileher kerbau pada waktu membajak sawah. Gorga Sitompi termasuk jenis yang indah di dalam kumpulan Gorga Batak. Disamping keindahannya, kemungkinan sipemilik rumah sengaja memesankannya kepada tukang Uhir (Pande) mengingat akan jasa alat tersebut (Tompi) itu kepada kerbau dan kepada manusia.
• Gorga Simataniari (Matahari), Gorga yang menggambarkan matahari, terdapat disudut kiri dan kanan rumah. Gorga ini diperbuat tukang ukir (Pande) mengingat jasa matahari yang menerangi dunia ini, karena matahari juga termasuk sumber segala kehidupan, tanpa matahari takkan ada yang dapat hidup.
• Gorga Desa Naualu (Delapan Penjuru Mata Angin), Gorga ini menggambarkan gambar mata angin yang ditambah hiasan-hiasannya. Orang Batak dahulu sudah mengetahui/kenal dengan mata angin. Mata angin ini pun sudah mempunyai kaitan-kaitan erat dengan aktivitas-aktivitas ritual ataupun digunakan di dalam pembuatan horoscope seseorang/sekeluarga. Sebagai pencerminan perasaan akan pentingnya mata angina pada suku Batak maka diperbuatlah dan diwujudkan dalam bentuk Gorga.
• Gorga Si Marogung-ogung (Gong), Pada zaman dahulu Ogung (gong) merupakan sesuatu benda yang sangat berharga. Ogung tidak ada dibuat di dalam negeri, kabarnya Ogung didatangkan dari India. Sedangkan pemakaiannya sangat diperlukan pada pesta-pesta adat dan bahkan kepada pemakaian pada upacara-upacara ritual, seperti untuk mengadakan Gondang Malim (Upacara kesucian). Dengan memiliki seperangkat Ogung pertanda bahwa keluarga tersebut merupakan keluarga terpandang. Sebagai kenangan akan kebesaran dan nilai Ogung itu sebagai gambaran/ keadaan pemilik rumah maka dibuatlah Gorga Marogung-ogung.
• Gorga Singa Singa, Dengan mendengar ataupun membaca perkataan Singa maka akan terlintas dalam hati dan pikiran kita akan perkataan: Raja Hutan, kuat, jago, kokoh, mampu, berwibawa. Tidak semua orang dapat mendirikan rumah Gorga disebabkan oleh berbagai faktor termasuk factor social ekonomi dan lain-lain. Orang yang mampu mendirikan rumah Gorga Batak jelaslah orang yang mampu dan berwibawa di kampungnya. Itulah sebabnya Gorga Singa dicantumkan di dalam kumpulan Gorga Batak
• Gorga Jorgom, Ada juga orang menyebutnya Gorga Jorgom atau ada pula menyebutnya Gorga Ulu Singa. Biasa ditempatkan di atas pintu masuk ke rumah, bentuknya mirip binatang dan manusia.
• Gorga Boras Pati dan Adop Adop (Tetek), Boras Pati sejenis mahluk yang menyerupai kadal atau cicak. Boras Pati jarang kelihatan atau menampakkan diri, biasanya kalau Boras Pati sering nampak, itu menandakan tanam-tanaman menjadi subur dan panen berhasil baik yang menuju kekayaan (hamoraon). Gorga Boras Pati dikombinasikan dengan tetek (susu, tarus). Bagi orang Batak pandangan terhadap susu (tetek) mempunyai arti khusus dimana tetek yang besar dan deras airnya pertanda anaknya sehat dan banyak atau punya keturunan banyak (gabe). Jadi kombinasi Boras Pati susu (tetek) adalah perlambang Hagabeon, Hamoraon sebagai idaman orang Batak.
• Gorga Ulu Paung, Ulu Paung terdapat di puncak rumah Gorga Batak. Tanpa Ulu Paung rumah Gorga Batak menjadi kurang gagah. Pada zaman dahulu Ulu Paung dibekali (isi) dengan kekuatan metafisik bersifat gaib. Disamping sebagai memperindah rumah, Ulu Paung juga berfungsi untuk melawan begu ladang (setan) yang datang dari luar kampung. Zaman dahulu orang Batak sering mendapat serangan kekuatan hitam dari luar rumah untuk membuat perselisihan di dalam rumah (keluarga) sehingga tidak akur antara suami dan isteri. Atau membuat penghuni rumah susah tidur atau rasa takut juga sakit fisik dan berbagai macam ketidak harmonisan.
Masih banyak lagi gambar-gambar yang terdapat pada dinding atau bahagian muka dari rumah Batak yang sangat erat hubungannya dengan sejarah kepribadian si pemilik rumah. Ada juga gambar lembu jantan, pohon cemara, orang sedang menunggang kuda, orang sedang mengikat kerbau. Gambar Manuk-Manuk (burung) dan hiasan burung Patia Raja perlambang ilmu pengetahuan dan lain-lain.
Apakah Jaha Jaha Gorga Itu ?
Orang sering bertanya dan mempersoalkan tentang manjaha (membaca) Gorga Batak yang sering membingungkan banyak orang. Membaca Gorga Batak tidak seperti membaca huruf-huruf Latin atau huruf Arab atau huruf Batak, huruf Kawi dan yang lainnya. Membaca Gorga Batak yakni mengartikan gambar-gambar dan warna yang terdapat di Rumah Gorga itu serta menghubungkannya kepada Sejarah dari pada si pemilik rumah tersebut.
Sebagai contoh : Disebuah rumah Gorga Batak terdapat gambar Ogung (gong), sedangkan pemilik rumah atau nenek serta Bapaknya belum pernah mengadakan pesta dengan memukul Ogung/Gendang, maka Gorga rumahnya tidak sesuai dengan keadaan pribadi pemilik rumah, maka orang yang membaca Gorga rumah itu mengatakan Gorga rumah tersebut tidak cocok.
Contoh lain : Si A orang yang baru berkembang ekonominya disuatu kampung, dan membangun satu rumah Gorga Batak. Si A adalah anak tunggal dan Bapaknya juga anak tunggal. Akan tetapi cat rumah Gorga itu banyak yang berwarna merah dan keras, dan lagi pula singa-singanya (Mata Ulu Paungnya) membelalak dan menantang, maka Gorga rumahnya itu tidak cocok karena si A tersebut orang yang ekonominya baru tumbuh (namamora mamungka). Maka orang yang membaca Gorga rumahnya menyebutkan untuk si A. Sebaiknya si A lebih banyak memakai warna si Lintom (Hitam) dan Ulu Paungnya agak senyum, Ulu Paung terdapat dipuncak rumah.
RUMA (RUMAH)
Jadi sudah kita ketahui bahwa gorga (ukiran) Batak itu membuat Rumah Batak itu sangat indah anggun dan sangat senang perasaan melihatnya, baik orang Barat/Eropah sangat senang perasaannya melihat bentuk rumah Batak itu serta hiasan hiasannya.
Bagaimanakah bahagian dalamnya? Apakah seindah dan seanggun yang kita lihat dari luarnya? Untuk menjawab pertanyaan ini marilah kita lihat dahulu dari berbagai sudut pandang. Rumah Batak itu tidak memiliki kamar (pada zaman dahulu), jadi jelas perasaan kurang enak kalau di bandingkan pada zaman sekarang.
JABU NAMAR AMPANG NA MARJUAL
Para nenek moyang orang Batak (Bangso Batak) menyebut Rumah Batak yaitu “jabu na marampang na marjual”. Ampang dan Jual adalah tempat mengukur padi atau biji bijian seperti beras/kacang dll. Jadi Ampang dan Jual adalah alat pengukur, makanya Rumah Gorga, Rumah Adat itu ada ukurannya, memiliki hukum hukum, aturan aturan, kriteria kriteria serta batas batas.
Biarpun Rumah Batak itu tidak memiliki kamar/dinding pembatas tetapi ada wilayah (derah) yang di atur oleh hukum hukum. Ruangan Ruma Batak itu biasanya di bagi atas 4 wilayah (bahagian) yaitu:
1. Jabu Bona ialah daerah sudut kanan di sebelah belakang dari pintu masuk rumah, daerah ini biasa di temapti oleh keluarga tuan rumah.
2. Jabu Soding ialah daerah sudut kiri di belakang pintu rumah. Bahagian ini di tempati oleh anak anak yang belum akil balik (gadis)
3. Jabu Suhat, ialah daerah sudut kiri dibahagian depan dekat pintu masuk. Daerah ini di tempati oleh anak tertua yang sudah berkeluarga, karena zaman dahulu belum ada rumah yang di ongkos (kontrak) makanya anak tertua yang belum memiliki rumah menempati jabu SUHAT.
4. Jabu Tampar Piring, ialah daerah sudut kanan di bahagian depan dekat dengan pintu masuk. Daerah ini biasa disiapkan untuk para tamu, juga daerah ini sering di sebut jabu tampar piring atau jabu soding jolo-jolo.
Disamping tempat keempat sudut utaman tadi masih ada daerah antara Jabu Bona dan Jabu Tampar Piring, inilah yang dinamai Jabu Tongatonga Ni Jabu Bona. Dan wilayah antara Jabu Soding dan Jabu Suhat disebut Jabu Tongatonga Ni Jabu Soding.
Itulah sebabnya ruangan Ruma Batak itu boleh dibagi 4 (empat) atau 6 (enam), makanya ketika orang batak mengadakan pertemuan (rapat) atau RIA di dalam rumah sering mengatakan sampai pada saat ini; Marpungu hita di jabunta na mar Ampang na Marjual on, jabu na marsangap na martua on. Dan seterusnya……
BAGAS RIPE RIPE
Dihatiha nasalpui (zaman dahulu) terkadang suku bangsa Batak i mendirikan rumah secara kongsi atau rumah bersama antara abang dan adik dan rumah itu di sebut BAGAS RIPE RIPE.
Sebelum mendirikannya mereka terlebih dahulu bermusyawarah dan menentukan dan memutuskan; siapa yang menempati jabu BONA, siapa yang menempati jabu Soding jabu SUHAT dan jabu Tamparpiring. Tentunya rumah seperti ini sudah agak lebih besar, dan sifat seperti ini adalah sisa sisa sifat masyarakat kommunal. Namun biarpun adanya nampak sifat sifat kommunal pada keluarga seperti ini, mereka seisi rumah saling menghormati terutama terhadap wanita.
Tidak pernah ada perkosaan ataupun perselingkuhan seperti marak maraknya di zaman yang serba materialis ini. Para nenek Suku Batak pada hatiha (ketika) itu menghormati istri kawannya yang kebetulan suaminya berada di luar rumah.
Disinilah keindahan bahagian dalam rumah Batak itu terutama di bidang moral. Mereka menghormati hak hak orang lain dan menghormati ukuran ukuran (Ampang/Jual) hukum hukum wilayah didalam rumah yang tidak memiliki bilik (kamar) mereka sangat mengakui bahwa rumah itu memang jabu namar Ampang Marjual.
Rumah (Ruma) yang didalam bahasa asing disebut HOUSE mempunyai banyak cara untuk menyebutnya sesuai dengan fungsinya. Bilamana Ruma itu tempat penyimpanan padi maka para nenek nenek Suku Batak menyebutnya Sopo PARPEOPAN EME. Bilamana Ruma (Sopo) itu berfungsi sebagai tempat pemujaan DEWATA MULA JADI NA BOLON I (TUHAN ALLAH), maka tempat itu dinamakan Joro. Dan sampai sekarangpun masih banyak orang Batak menyebut Gereja itu dengan sebutan Bagas Joro ni DEBATA. Bagas Joro yang lama bentuknya persis seperti Ruma Batak dan sisa-sisanya masih ada pernah penulis lihat di daerah Humbang dan mereka beribadah pada hari Sabtu.
Ada juga Ruma itu khusus tempat musyawarah para keluarga dan para kerabat kerabat tempat membicarakan hal hal yang penting. Tempat tersebut di namakan Tari SOPO dan biasanya tari sopo tidak mempunyai dinding contohnya dapat kita lihat di Lumban Bulbul Kecamatan Balige yang pemiliknya bernama S.B Marpaung (Op. Miduk), atau di beberapa tempat masih ada lagi sisa sisa tari sopo yang dapat kita lihat.
Kenapa disebut BAGANDING TUA?
Kata kata yang lain untuk menyebut rumah itu ada juga mengatakan; SIBAGANDING TUA, menurut sunber yang layak di percayai BAGANDING TUA itu adalah sebuah mahluk yang juga ciptaan Allah, wujudnya seperti seekor ular yang panjangnya paling paling 2 jengkal jari tangan. Bagi orang yang bernasib mujur bisa saja BAGANDING TUA datang rumahnya dan pasti membawa rejeki yang melimpah ruah. Pokoknya bila Ruma itu memiliki BAGANDING TUA pemiliki Ruma itu akan kedatangan rejeki dari berbagai penjuru.
Demikianlah Suku Batak itu sering memakai kata kata penghalus dan sastra untuk menunjukkan ruma sebagai tempat tinggal manusia dengan menyebut JABU SI BAGANDING TUA.
Dari catatan yang dihimpun, Istilah Baganding tua juga diartikan sebagai peristilahan kepada perempuan (istri) pemilik rumah, dan untuk laki-laki (suami) diistilahkan Simanguliman. Bila dalam petuah upacara khusus mengartikan rumah sebagai “bagas Sibaganding tua Simanguliman on”, artinya suami dan istri masih lengkap.
Perempuan (isteri) juga diartikan “pangalapan tua”, sumber berkat, sementara rumah diartikan sama dengan perhimpunan berkat harta dan keturunan serta kehormatan.
“Namarampang Namarjual” diartikan bagi sebuah rumah yang memiliki kehidupan, memiliki harta, aturan dan penegakan hukum dalam keluarga serta masyarakat.
Kehilangan seorang isteri merupakan kehilangan kehormatan bagi sebuah keluarga dan rumah itu sendiri, sehingga penempatan istilah Sibagandingtua dan Namarampang Namarjual otomatis tidak lagi diucapkan sampai seorang perempuan (isteri) atau menantu dari salah seorang anak lelaki ada menempati rumah itu.
Menurut cerita rakyat, bila seorang isteri bijaksana yang menghidupi keluarga itu meninggal dunia, maka “boraspati” (cecak) akan meninggalkan rumah itu. Boraspati adalah lambang kesuburan dan selalu dibuat hiasan rumah adat batak. Kebenarannya belum pernah diteliti.
BALE BALE:
Berbagai macam penyebutan untuk menunjukkan Ruma (tempat tinggal manusia) di dalam bahasa Batak, kata BALE juga sering di sebut sebut, tetapi BALE kurang biasa di pakai sebagai hunian tempat berkeluarga (HOUSE dalam Bahasa Inggris). Bale artinya Balai tempat bertemu antara penjual dan pembeli. Contoh Balairung Balige yang modelnya seperti RUMA GORGA BATAK, akan tetapi fungsinya adalah sebagai tempat berjual beli kebutuhan sehari-hari.
Akan tetapi biarpun BALEBALE tidak biasa seperti hunian tempat berkeluarga dan anak beranak Orang Batak sekarang sering juga menyebutkannya sebagai rumah biasa (House). Buktinya; mereka berkata “PAJONG JONG BALE BALE do anakta nuaeng di Medan”, artinya: Anak kita sedang membangun rumah di Medan. Padahal rumah yang dibangun anaknya di Medan adalah rumah gedong. Disan do “Bale balenta”, (Disanalah rumah kita) “Nungnga adong Balebale ni lae i di Jakarta” (sudah ada rumah ipar kita itu di Jakarta.
Tangga gogop (genap)
Tadi kita sudah mengetahui bahwa Ruma Batak itu menurut tangga dan pintunya dibagi menjadi 2 (dua) bahagian yaitu Ruma Batak si Tolumbea dan Ruma Batak Di Baba ni Amporik. Namun kalau jumlah anak tangganya selalu ganjil apakah itu beranak tangga 9 atau 11 atau 7 pokoknya jumlahnya selalu ganjil. Bagi masyarakat Batak Toba jumlah anak tangga yang genap (gogop) adalah pantang, sebab jumlah anak tangga rumah adalah menunjukkan bahwa pemilik rumah adalah keturunan budak (Hatoban).
Hal seperti ini tidak terdapat bagi Ruma Batak sebab tidak mungkin seorang budak dapat mendirikan Rumah Batak, atau sebagai pemilik Ruma Batak. Kalaupun ada Rumah beranak tangga yang genap (gogop) itu mungkin pada rumah jenis lain. Karena di tanah Batak pada jaman dahulu dan jaman sekarang ada juga kita dapati rumah EMPER bahkan jumlahnya jauh melebihi dari Ruma Batak.
Menurut cerita yang didapat dari hasil bincang bincang antara penulis dengan orang yang layak dipercayai bahwa pada zaman dahulu ada terdapat budak di Samosir. Dan kalau budak itu mau makan terlebih dahulu bersuara ngeong (mar ngeong) seperti suara kucing barulah tuannya meletakkan nasi di lantai rumah.
Dan kalau budak sudah merdeka di buatlah rumah pondoknya dengan tanda jumlah anak tangga rumahnya genap seperti 2 atau 4.
Pada zaman zaman permulaan Kemerdekaan Indonesia penulis masih sempat mendengar bahwa anak pemilik rumah yang bertangga genap sangat sulit mendapat jodoh yang cantik. Jadi secara jelasnya bahwa Rumah Batak itu tidak ada yang beranak tangga yang gogop.
DATU :
Di dalam masyarakat Batak yang lama, Datu adalah sangat berperan baik dalam rangka penyediaan bahan bahan bagunan dari hutan seperti kayu, ijuk (bahan untuk atap rumah), rotan, batu pondasi dll. Sebab bukan tidak mungkin bahan bahan bagunan itu adalah milik dari mahluk mahluk halus di hutan. Misalnya batu itu adalah sebagai tempat duduk duduknya (santai santai) mahluk halus di hutan dan terambil oleh manusia ubtuk bahan pondasi Ruma ini akan membawa malapetaka bagi penghuni Ruma. Begitu juga kayu itu, ada juga miliknya penguasa penguasa hutan yang tak boleh digunakan manusia, begitu juga rotan sebagai bahan pengikat ada juga miliknya penguasa Hutan (Begu).
Datu itu memiliki pengetahuan metafisik yang dapat melihat, mendengar dan mencium yang tak dapat dilihat dan didengar oleh manusia biasa. Untuk memulai pembangunan ruma dan memasuki ruma, datu harus membuka buku Porhalaan/ sejenis buku pedoman orang Batak.
Di dalam buku Porhalaan ada ditunjukkan waktu kapan begu berdiam diri, kapan bersantai, kapan mengganggu, makanya harus ada masyarakat Batak pada zaman dahulu percaya akan Sumangot dan begu, yaitu roh nenek moyang yang selalu hidup disebut tondi orang yang sedang bermimpi dianggap rohnya sedang bepergian dan mengembara. Apa yang dialaminya dalam pengembaraan itulah mimpinya.
Roh berpusat dalam kepala (simanjujung). Kepala orang Batak tidak boleh dilangkahi, bisa-bisa rohnya merasa malu, terkejut atau melompat. Itulah sebabnya orang Batak pada acara-acara tertentu meletakkan beras sedikit di atas kepala (manjomput boras si pir ni tondi) misalnya kalau kebakaran rumah, kedatangan menantu, anak yang sudah lama merantau dan pulang ke rumah.
Orang Batak selalu suka menyebutkan perkataan Horas. Perkataan itu sama dengan keras atau kokoh; kekar, di dalam Bahasa Indonesia orang berjumpa satu sama lain mengucapkan Horas, para pemimpin (Presiden-Menteri-Gubernur dll) yang datang berkunjung ke daerah Toba selalu disambut dengan suara gemuruh Horas…horas, ada pula ucapan Horas Bangso Batak maksudnya supaya roh orang itu keras, kuat, kokoh. Karena orang Batak itu selalu mengutamakan Pir ni Tondi (kerasnya roh).
Orang Batak yang pintar dan dituakan di masyarakat juga digolongkan Datu Perkataan Datu berasal dari kata Da+Tu. Perkataan Da sering digunakan untuk menghormati seseorang misalnya Da inang (ibu), Da tulang, Da ompung (nenek).
Datu, diyakini selalu mengatakan yang benar, mensyaratkan kebenaran yang tidak diketahui kebanyakan orang. Mengatakan yang benar “tutu”, dikuatkan dengan pernyataan “nda-tutu” atau “da-tutu”. Sama halnya pernyataan serang ibu “da-inang”.
Istilah dan pemahaman arti Datu mulai bergeser saat terjadinya pembohongan dan kekebasan mengaktualisasikan diri dalam masyarakat. Kesalahan yang pernah terjadi dilakukan seorang datu akhirnya berdampak kepada merosotnya penilaian tentang Datu.
Datu, saat ini cenderung diartikan hanya sekedar ahli pengobatan dan nujum, perdukunan diartikan pula perilaku perbuatan jelek kepada orang lain seperti santet dan lain sebagainya.
BAHAGIAN-BAHAGIAN RUMA BATAK
Menurut tingkatannya Ruma Batak itu dapat dibagi menjadi 3 bagian :
1. Bagian Bawah (Tombara) yang terdiri dari batu pondasi atau ojahan tiang-tiang pendek, pasak (rancang) yang menusuk tiang, tangga (balatuk)
2. Bagian Tengah (Tonga) yang terdiri dari dinding depan, dinding samping, dan belakang
3. Bagian Atas (Ginjang) yang terdiri dari atap (tarup) di bawah atap urur diatas urur membentang lais, ruma yang lama atapnya adalah ijuk (serat dari pohon enau).
Bagian bawah berfungsi sebagai tempat ternak seperti kerbau, lembu dll. Bagian tengah adalah ruangan tempat hunian manusia. Bagian atas adalah tempat-tempat penyimpanan benda-benda keramat (ugasan homitan).
Menurut seorang peneliti dan penulis Gorga Batak (Ruma Batak) tahun 1920 berkebangsaan Belanda bernama D.W.N. De Boer, di dalam bukunya Het Toba Batak Huis, ketiga benua itu adalah :
1. Dunia atau banua toru (bawah)
2. Dunia atau banua tonga (tengah)
3. Dunia atau banua ginjang (atas)
Selanjutnya orang Batak Toba yang lama telah berkeyakinan bahwa ketiga dunia (banua) itu diciptakan oleh Maha Dewa yang disebut dengan perkataan Mula Jadi Na Bolon. Seiring dengan pembagian alam semesta (jagad raya) tadi yang terdiri dari 3 bagian, maka orang Batak Toba pun membagi/ merencanakan ruma tradisi mereka menjadi 3 bagian.
Rumah tradisi mempunyai tiga tingkat sesuai dengan tingkat kosmos, demikian tulisan Achim Sibeth seorang the Batak peoples of atap (tarup). Atap rumah tradisi itu adalah ijuk (serat batang pohon enau) yang disusun dengan tebal 20 cm rapi dan berseni. Di bawah ijuk ada lais-lais kecil yang banyak, bahannya diambil dari pohon enau juga dinamai hodong. Di atas ijuk tersebut ditaruh dengan lidi tarugit itu bukan asal diletakkan semuanya, disusun dengan seni Batak tertentu sehingga bagian atas ruma Batak itu nampak gagah, anggun, dan berseni.
Tentang tarugit
Tarugit adalah suatu benda untuk menciptakan suatu ungkapan yang dapat menjadi suatu pedoman hidup orang Batak Toba. Para orang-orang Batak sering berkata Ni arit tarugit Pora-pora, molo tinean uli teanon do dohot gora, atau dengan kata lain unang hita ripe sitean uli so dohot tumean gora.
Sebagai inti sari dari ungkapan ini adalah uli dan gora, namun uli dan gora adalah 2 kata yang sangat berlawanan tetapi sangat berguna untuk pedoman hidup orang Batak Toba. Uli adalah menggambarkan keberuntungan (laba), kehormatan, kejayaan, keharuman nama. Gora adalah menggambarkan pengeluaran tenaga, modal, pengorbanan waktu dan berbagai perjuangan. Sebagai contoh : Untuk menjadi orang success terkenal/ beruntung atau sebagai orang pintar kita harus mengeluarkan modal yang besar, waktu dan tenaga yang berlebih dan berbagai promosi sebagai goranya.
Untuk menjadi seorang pintar dan sarjana atau jenderal, seseorang harus kuat bekerja dan berjuang serta memakan gizi baik. Dalam pesan para nenek (ompung ta na parjolo) janganlah menjadi manusia ripe. Manusia si ripe artinya orang yang hanya memikirkan dan memperoleh keuntungan tanpa melalui pengorbanan dan perjuangan. Makanya di zaman yang serba canggih ini banyak kita jumpai manusia-manusia yang tidak beres karena manusia itu telah meninggalkan poda ni ompu itu;
Ni arit tarugit pora-pora unang hita ripe sitean uli so dohot tumea gora.
0 testimonial:
Posting Komentar
Gunakan Smile yang anda ketahui untuk postingan